KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami
panjatkan kehadirat TUHAN yang Maha Esa, karena atas berkat dan tuntunan_Nya,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan “FISIKA LINGKUNGAN” ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Laporan ini disusun
guna menambah pengetahuan lingkungan, baik itu mengenai kelongsoran. Kami juga
berharap agar laporan ini bermanfaat untuk kedepannya.
Kami menyadari bahwa laporan masih sangat jauh
dari kesempurnaan, oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang sikapnya membangun demi
kesempurnaan laporan selanjutnya.
Akhir kata, kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah dan
teman-teman yang telah banyak membantu atas selesainya laporan ini.
Palu, 10November 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I P
E N D A H U L U A N…………………………………..
1.1
Latar Belakang……………………………………..
1.2
Rumusan Masalah…………………………………..
1.3
Tujuan Penelitian……………………………………
1.4
Manfaat Penelitian…………………………………
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………….
2.1 Pengertian
Tanah Longsor........................................................
2.2 Jenis-jenis
Tanah Longsor........................................................
2.3 Gejala
Umum Tanah Longsor..................................................
2.4 Faktor-faktor
Penyebab Terjadinya Tanah Longsor...............
2.5 Wilayah
Rawan Tanah Longsor.............................................
2.5 Tahapan
Mitigasi Bencana Tanah Longsor.............................
2.7
Tindakan Yang Bisa Dilakukan Selama dan Sesudah
Tanah Longsor……………………………………………..
Tanah Longsor……………………………………………..
BAB III M E T O D O L O G I……………………………………….
3.1 Waktu dan Tempat……………………………………
3.2 Alat dan Bahan……………………………………….
3.3 Prosedur Kerja………………………………………..
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………….
4.1 Hasil Pengamatan………………………………………...
4.2
Pembahasan………………………………………………
BAB V P E N U T U P………………………………………………
5.1 Kesimpulan………………………………………………
5.2 Saran……………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bencana
alam sebagai peristiwa alam dapat terjadi setiap saat dimana saja dan kapan
saja, disamping menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan
masyarakat. Gerakan tanah adalah salah satu bencana alam yang sering mengakibatkan
kerugian harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan
prasarana lainnya yang_membawa_dampak_sosial_dan_ekonomi.
Bencana adalah sesuatu yang tidak kita
harapkan, oleh karena itu pemahaman terhadap proses terjadinya gerakan tanah
berikut faktor penyebabnya menjadi sangat penting bagi pemerintah maupun
masyarakat. Alternatif penanggulangan bencana baik dari aspek pencegahan
(preventif), pengurangan (mitigasi) maupun penanggulangan (rehabilitasi) perlu
dikaji secara mendalam.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang permasalahan di atas maka kami merumuskan masalah yang perlu
ditanggulangi sebagai berikut :
1) Faktor apa saja yang menyebabkan bencana
tanah longsor ?
2) Macam- macam longsoran apa saja yang
dapat ditemui di daerah kebun kopi?
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan penulis membuat makalah ini adalah :
1.
Mengidentifikasi penyebab terjadinya bencana alam tanah lonsor dan
pencegahan terjadinya bencana alam tanah longsor.
2.
Mengidentifikasi macam-macam longsoran beserta
jenis batuan dan vegetasinya.
3.
Menambah wawasan dan
pengetahuan tentang bencana alam tanah longsor.
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini mahasiswa
sebagai praktikan mendapatkan manfaat sebagai berikut:
1.
Paham dan kenal terhadap alat pengukur yang digunakan
pada penelitian ini, yaitu penggunaan
kompas dan GPS.
2.
Penelitian ini sangat bermanfaat dalam menentukan zona
bidang gelincir sebagai upaya awal menentukan potensi dan arah longsoran yang mungkin bisa terjadi diwaktu yang akan datang.
3.
Pengetahuan mahasiswa menjadi beertambah akan materi
tentang tanah longsor.
4.
dan hal ini sangat bermanfaat bagi masyarakat sekita
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Tanah Longsor
Tanah
longsor atau dalam bahasa Inggris disebut Landslide, adalah perpindahan
material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material
campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya
tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam
tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap
air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah
pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.
Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk
lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut,
bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor adalah
air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut
menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka
tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti
lereng dan keluar lereng.
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia
yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak
saling menumbuk. Konsekuensi dari tumbukan itu maka terbentuk palung samudera,
lipatan, punggungan dan patahan di busur kepulauan, sebaran gunung api, dan
sebaran sumber gempa bumi.
Keruntuhan
lereng dapat terjadi karena berkurangnya/menurifnnya kernampuan kuat geser
tanah secara perlahan‑lahan atau mendadak atau perubahan kondisi geometri
lereng akibat galian misalnya, sehingga lereng menjadi curam. Parameter penting
yang dibutuhkan dalam analisis stabilitas lereng adalah kuat geser, geometri
lereng, tegangan air pori atau gaya rembesan, dan beban serta'kondisi
lingkungan sekitar lereng. Konsep stabilitas lereng menggunakan metode analisis
dalarn memprediksi kestabilan lereng tanah untuk dua dimensi telah banyak
dikembangkan oleh ahli‑ahli geoteknik. Umumnya untuk menyatakan lereng dalarn kondisi
stabil (mantab) dinyatakan dengan angka aman (FOS) yang merupakan rasio antara
gaya atau momen yang melawan terjadinya longsor dan gaya atau momen yang
melongsorkan. Besamya angka aman disesuaikan dengan beban yang bekerja, untuk
kondisi beban normal artinya beban yang beketja terus menerus pada lereng
mempunyai nilai 1,5‑2, sedang untuk beban sernentara (misal : beban gernpa)
digunakan angka. arnan lebih rendah yaitu 1,1‑1,2, karena. beban ini bekerja
dalam waktu relatif pendek. Konsep stabilitas lereng adalah menggunakan metode
keseirnbangan batas (limit equilibrium) dengan
lereng yang diperkirakan akan runtuh dibagi‑bagi menjadi 8‑15 pias. Metode ini
antara. lain : Ordinary Method of Slice (OMS)
dikembangkan oleh Fellenius (1927, 1936). Dalam analisisnya Fellenius
mengabaikan keseirnbangan gaya. di kedua sisi pias dan massa tanah yang
diperkirakan akan runtuh sebagai satu kesatuan. Metode ini merupakan metode
dengan prosedur paling sederhana serta sebagai dasar sernua metode selanjutnya.
Bishop simplified (1955) meniadakan
sernua. gaya geser antar pias, narnun keseirnbangan gaya horisontal
diperhitungkan secara keseluruhan. Janbu (1954, 1957, 1973) dengan anggapan
seperti metode Bishop simplified narnun
tidak meninjau keseirnbangan. mornen, Lowe dan Karafiath (1960) menganggap gaya‑gaya.
antar pias membentuk sudut sebesar rerata sudut alas dan atas pias. Corps of Engineers (1982) dengan anggapan.
kemiringan gaya‑gaya. antar pias sarna dengan kerniringan lereng atau sama
dengan rerata. Sudut kerniringan. ujung‑ujung pennukaan bidang runtuh. Spencer
(1967, 1973) dalarn Winterkorn dan Fang, 1975, beranggapan. besarnya. gaya‑
gaya antar pias adalah sarna, narnun tidak diketahui arahnya. Sarma. (1973),
dan Morgenstern & Price (1965) dalam Winterkorn dan Fang, 1975, menggunakan
fungsi distribusi gaya antar pias. Fredlund dan Rahardjo (1993) cenderung
meninjau kondisi lereng sebagai suatu lapisan tanah yang tidak kenyang air (unsaturated), sedang metode lainnya.
dengan anggapan tanah dalarn konsidi kenyang air (saturated) atau kondisi kering. Dua metode yaitu Fellenius dan
Bishop hanya dapat digunakan, apabila. bentuk bidang gelincir berbentuk
tarnpang lingkaran, sedangkan bentuk bidang gelincir tidak berbentuk lingkaran
menggunakan metode Janbu, Corps of Engineers,
Lowe dan Karafiath, sedang analisis stabilitas lereng untuk lereng tidak
kenyang air menggunakan metode Fredlund dan Rahardjo, narnun untuk mengetabui
metode mana yang paling cocok, digunakan metode GLE (General Limit Equilibrium) yang mendasarkan pada keseimbangan
gaya. dan keseirnbangan momen. Cara analisis ini baru dapat dilakukan, apabila
sudah didapatkan parameter‑perameter tanah dari hasil uji geoteknik di lapangan
maupun di laboratorium. Dalam melakukan uji lapangan perlu dilakukan secara
teliti untuk mendapatkan data yang akurat, danmewakili seluruh daerah yang
diuji. Berbagai uji lapangan dapat digunakan untuk mendapatkan letak bidang
gelincir antara lain dengan alat uji penetrasi statis (Suryolelono, 1996b),
atau dinamis, dan selanjutnya diambil sampelnya untuk uji laboratorium guna
mendapatkan parameter tanah.
Konsep metode analisis tiga dimensi keruntuhan lereng
adalah tegangan geser pada setiap titik selalu berubah berdasarkan waktu dan
lokasinya, dengan bidang longsor yang tidak selalu berbentuk busur lingkaran.
Perbedaan konsep metode analisis dua dimensi dengan tiga dimensi keruntuhan
lereng adalah pada metode dua dimensi tegangan geser sepanjang permukaan bidang
longsor adalah konstan, sedang pada metode tiga dimensi, pada setiap titik
tinjauan selalu berubah berdasarkan. fungsi waktu. dan tempatnya (Nakamura,
dkk., 1989; Sasa, 1987).
Dari hasil analisis tersebut, apabila lereng dinyatakan
labil, maka. diperlukan usaha untuk mengantisipasinya. Metode stabilitas lereng
umumnya, mengurangi gaya yang melongsorkan atau menyebabkan lereng tanah
tersebut longsor (bergerak turun) ke arah kaki lereng, memperbesar gaya
perlawanan terhadap gaya yang melongsorkan, atau kombinasi ke duanya. Secara
umum metode stabilitas lereng ini dapat dilakukan secara fisis, mekanis,
khemis, dan bio engineering dengan
memperhatikan kondisi lereng yang labil, sehingga dapat ditentukan metode yang
paling tepat.
Metode stabilitas lereng secara fisis merupakan metode
yang paling sederhana, namun hasilnya dapat diandalkan. Usaha stabilisasi
dengan membuat lereng lebih landai, sehingga lereng menjadi tidak curam, atau
mengurangi beban di bagian atas lereng dengan memindahkan material di bagian
puncak lereng ke kaki lereng, menempatkan konstruksi bahu lereng (benn) merupakan usaha untuk melandaikan
lereng. Penempatan pratibobot (counterweight‑merupakan konstruksi timbunan batu
atau tanah di bagian kaki lereng), memberikan hasil yang memuaskan, namun
diperlukan ruangan (space) yang cukup luas, karena berkaitan dengan usaha
galian dan timbunan. Teknik ini adalah mengurangi gaya yang melongsorkan akibat
massa tanah yang bergerak turun atau menambah besamya perlawanan geser.
Usaha lain untuk membuat lereng tetap stabil dengan
menempatkan sistern drainase permukaan (surface
drainage) atau bawah permukaan (sub surface
drainage) yang mampu untuk mengevakuasi sebagian air terutama air hujan
yang berinfiltrasi ke dalarn tanah, agar tanah/batuan pembentuk lereng tidak
menjadi dalam kondisi jenuh air. Air hujan yang berinfiltrasi ke dalain tanah
menyebabkan muka air tanah naik, sehingga memperbesar tekanan hidrostatis pada
lereng tersebut. Selain itu, akibat tekanan rembesan dapat menimbulkan
terjadinya peristiwa erosi buluh (piping)
di bagian lereng, dan semakin lama semakin besar sesuai dengan perkembangan
debit aliran rembesan. Pada lereng‑lereng yang menunjukan gejala munculnya
mata air rembesan di bagian kaki lereng setelah te~adi hujan, merupakan suatu
indikasi bahwa lereng ini tidak mantab (labil). Berbagai bentuk drainase
permukaan dapat berupa selokan atau parit drain, dan drainase bawah permukaan
antara lain drain horisontal, lapisan drain, relief drain dan terowongan drain telah banyak digunakan, dan
hasilnyapun dapat diandalkan (Suryolelono, 1993, 1999).
Cara mekanis dalarn usaha stabilisasi lereng dilakukan
apabila ruangan yang tersedia sangat sempit, artinya bila cara fisis sangat
sulit untuk diterapkan, barulah dilakukan dengan cara mekanis. Cara ini dengan
menempatkdn konstruksi penahan tanah konvensional, atau metode baru yaitu
perkuatan tanah (soil reinfoercement), pengangkeran
tanah (soil nailling), namun
keberhasilan konstruksi ini akan lebih baik, apabila didukung dengan sistern
drainase permukaan maupun bawah permukaan, dan pada konstruksi penahan tanah
itu sendiri. Kegagalan konstruksi penahan tanah konvensional yang te~adi di
kota Semarang (Forum, Maret 2002; Kedaulatan Rakyat, 17, 18, 20, 23 Februari
2002), runtuhnya candi Selogriyo (Suryolelono, 1995b; 1996), karena buruknya
sistern drainase pada. konstruksi penahan tanah, dan sistern drainase di
sekitar konstruksi itu. Cara lain untuk mengantisipasi gerakan tanah ini dengan
memancang tiang atau turap (sheet pile) di
bagian lereng yang longsor, namun tiang atau turap harus cukup panjang dan
melewati bidang longsor, sehingga efektif untuk menghambat turunnya material
tanah yang longsor.
Metode stabilisasi dengan cara khemis merupakan usaha
mencampur bahan tanah dengan semen (soil cement‑shotcrete),
atau bahan kapur, abu sekarn padi (ASP‑abu sekarn padi‑RHA‑rice husk ash) (Suryolelono & Fathani,
2000), abu terbang (fly ash), sementasi
(grouting) untuk meningkatkan kuat
geser tanah, namun pemanfaatan bahan kimia ini perlu dipertimbangkan
pengaruhnya terhadap lingkungan.
Bio engineering merupakan
suatu usaha stabilisasi lereng dengan menutup lereng‑lereng yang terbuka dengan
tanaman. Tujuan dari usaha ini, agar air hujan sebagai pemicu gerakan lereng
dapat ditahan sementara, atau tidak segera infiltrasi ke ' dalarn tanah, namun
metode ini membutuhkan waktu lama. Umumnya metode ini digunakan apabila lereng
diindentifikasi rawan terhadap erosi dan berakibat lanjut lereng longsor. Jenis
tanaman yang direkomendasi oleh Bank Dunia seperti jati, akasia, johar, pinus
mahoni, kemiri, damar dan lainlain, perlu disesuaikan dengan kondisi lereng
setempat dan atas saransaran dari para ahli di bidang yang berkaitan.
Mengurangi atau menghindari pembangunan teras bangku di lereng‑lereng rawan
longsor tanpa dilengkapi dengan saluran pembuangan air (SPA) dan saluran
drainase bawah permukaan tanah untuk menurunkan muka air tanah, mengurangi
intensifikasi pengolahan tanah di daerah rawan longsor (Soedjoko, 2000)
merupakan salah satu usaha stabilisasi lereng rawan longsor. Umumnya usaha
penanggulangan kelongsoran lereng yang digunakan merupakan kombinasi baik cara
fisis, mekanis, khemis atau bio
engineering, untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
2.2 Jenis-jenis Tanah Longsor
Ada 6
jenis tanah longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan
blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran
translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran
yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan.
1) Longsoran Translasi
Longsoran
translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir
berbentuk rata atau menggelombang landai.
Gambar 1. Longsoran Translasi
2) Longsoran Rotasi
Longsoran
rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk
cekung.
Gambar 2. Longsoran Rotasi
3) Pergerakan Blok
Pergerakan
blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk
rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
Gambar 3. Pergerakan Blok
4) Runtuhan Batu
Runtuhan
batu terjadi ketika sejum-lah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah
dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga
meng-gantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat
menyebabkan kerusakan yang parah.
Gambar
4. Runtuhan batu
5) Rayapan Tanah
Rayapan
Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa
butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali.
Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan
tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
Gambar
5. Rayapan Tanah
6) Aliran Bahan Rombakan
Jenis
tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air.
Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan
jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai
ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di
daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan
korban cukup banyak.
Gambar
6. Aliran Bahan Rombakan
2.3 Gejala Umum Tanah Longsor
Gejala-gejala
umum yang biasanya timbul sebelum terjadinya bencana tanah longsor adalah :
Ø Munculnya retakan-retakan di lereng yang
sejajar dengan arah tebing.
Ø Biasanya terjadi setelah hujan.
Ø Munculnya mata air baru secara tiba-tiba.
Ø Tebing rapuh dan kerikil mulai
berjatuhan.
2.4 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tanah
Longsor
Pada
prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada
gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan
kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut
lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan.
1. Hujan
Ancaman tanah longsor
biasanya dimulai pada bulan November karena meningkatnya intensitas curah
hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di
permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori
atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan.
Ketika hujan, air akan
menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali.
Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi,
sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat.
Hujan lebat pada awal musim
dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan
terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila
ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan
diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah.
2. Lereng terjal
Lereng atau tebing yang
terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena
pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng
yang menyebabkan longsor adalah 180 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya
mendatar.
3. Tanah yang kurang padat dan tebal
Jenis tanah yang kurang padat
adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan
sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya
tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan
terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika
hawa terlalu panas.
4. Batuan yang kurang kuat
Batuan endapan gunung api dan
batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung
umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami
proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada
lereng yang terjal.
5. Jenis tata lahan
Tanah longsor banyak terjadi
di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng
yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir
tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah
terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena
akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya
terjadi di daerah longsoran lama.
6. Getaran
Getaran yang terjadi biasanya
diakibatkan oleh gempabumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas
kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan
dinding rumah menjadi retak.
7. Susut muka air danau atau bendungan
Akibat susutnya muka air yang
cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan
waduk 220 mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti
oleh retakan.
8. Adanya beban tambahan
Adanya beban tambahan seperti
beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong
terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah.
Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke
arah lembah.
9. Pengikisan/erosi
Pengikisan banyak dilakukan
oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar
tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.
10. Adanya material timbunan pada tebing
Untuk mengembangkan dan
memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan
lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti
tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi
penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.
11. Bekas longsoran lama
Longsoran lama umumnya
terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng
yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi.
Bekas longsoran lama memilki ciri :
Ø Adanya tebing terjal yang panjang
melengkung membentuk tapal kuda.
Ø Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang
relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur.
Ø Daerah badan longsor bagian atas umumnya
relatif landai.
Ø Dijumpai longsoran kecil terutama pada
tebing lembah.
Ø Dijumpai tebing-tebing relatif terjal
yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama.
Ø Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya
dijumpai retakan dan longsoran kecil.
Ø Longsoran lama ini cukup luas.
12. Adanya bidang diskontinuitas (bidang
tidak sinambung)
Bidang tidak sinambung ini
memiliki ciri:
Ø Bidang perlapisan batuan
Ø Bidang kontak antara tanah penutup dengan
batuan dasar
Ø Bidang kontak antara batuan yang
retak-retak dengan batuan yang kuat.
Ø Bidang kontak antara batuan yang dapat
melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air).
Ø Bidang kontak antara tanah yang lembek
dengan tanah yang padat.
Ø Bidang-bidang tersebut merupakan bidang
lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.
13. Penggundulan hutan
Tanah longsor umumnya banyak
terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat
kurang.
14. Daerah pembuangan sampah
Penggunaan
lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat
mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan guyuran hujan, seperti yang
terjadi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah di Cimahi. Bencana ini
menyebabkan sekitar 120 orang lebih meninggal.
2.5
Wilayah Rawan Tanah Longsor
Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di
Indonesia. Setiap tahunnya kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah
longsor sekitar Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta.
Daerah yang memiliki rawan longsor :
Ø
Jawa Tengah 327 Lokasi
Ø
Jawa Barat 276 Lokasi
Ø
Sumatera Barat 100 Lokasi
Ø
Sumatera Utara 53 Lokasi
Ø
Yogyakarta 30 Lokasi
Ø
Kalimantan Barat 23 Lokasi
Ø
Sisanya tersebar di NTT, Riau, Kalimantan
Timur, Bali, dan Jawa Timur.
DAFTAR KEJADIAN DAN KORBAN BENCANA TANAH LONGSOR 2003-2005
No.
|
Propinsi
|
Jumlah
Kejadian |
Korban Jiwa
|
RH
|
RR
|
RT
|
LPR
(ha) |
JL
(m) |
|
MD
|
LL
|
||||||||
1.
|
Jawa Barat
|
77
|
166
|
108
|
198
|
1751
|
2290
|
140
|
705
|
2.
|
Jawa Tenah
|
15
|
17
|
9
|
31
|
22
|
200
|
1
|
75
|
3.
|
Jawa Timur
|
1
|
3
|
-
|
-
|
27
|
-
|
70
|
-
|
4.
|
Sumatera Barat
|
5
|
63
|
25
|
16
|
14
|
-
|
540
|
60
|
5.
|
Sumatera Utara
|
3
|
126
|
-
|
1
|
40
|
8
|
-
|
80
|
6.
|
Sulawesi Selatan
|
1
|
33
|
2
|
10
|
-
|
-
|
-
|
-
|
7.
|
Papua
|
1
|
3
|
5
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Jumlah
|
103
|
411
|
149
|
256
|
1854
|
2498
|
751
|
920
|
Keterangan :
MD : Meninggal dunia
ML : Luka - luka
RR : Rumah rusak
RH : Rumah hancur
RT : Rumah terancam
BLR : Bangunan lainnya rusak
BLH : Bangunan lainnya hancur
LPR : Lahan petanian rusak ( dalam
hektar)
JL : Jalan terputus
Tampak bahwa
kejadian bencana dan jumlah korban bencana tanah longsor di Propinsi Jawa Barat
lebih besar dibandingkan dengan propinsi lainnya. Hal demikian disebabkan oleh
faktor geologi, morfologi, curah hujan, dan jumlah penduduk serta kegiatannya.
2.6 Tahapan Mitigasi Bencana Tanah
Longsor
Ø Pemetaan
Menyajikan informasi visual
tentang tingkat kerawanan bencana alam geologi di suatu wilayah, sebagai
masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah kabupaten/kota dan provinsi
sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari
bencana.
Ø Penyelidikan
Mempelajari penyebab dan
dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan
penanggulangan bencana dan rencana pengembangan wilayah.
Ø Pemeriksaan
Melakukan penyelidikan pada
saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat diketahui penyebab dan cara
penanggulangannya.
Ø Pemantauan
Pemantauan dilakukan di
daerah rawan bencana, pada daerah strategis secara ekonomi dan jasa, agar
diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang
bertempat tinggal di daerah tersebut.
Ø Sosialisasi
Memberikan pemahaman kepada
Pemerintah Provinsi /Kabupaten /Kota atau Masyarakat umum, tentang bencana alam
tanah longsor dan akibat yang ditimbulkannnya. Sosialisasi dilakukan dengan
berbagai cara antara lain, mengirimkan poster, booklet, dan leaflet atau dapat
juga secara langsung kepada masyarakat dan aparat pemerintah
Ø Pemeriksaan bencana longsor
Bertujuan mempelajari
penyebab, proses terjadinya, kondisi bencana dan tata cara penanggulangan
bencana di suatu daerah yang terlanda bencana tanah longsor.
2.7 Tindakan Yang Bisa Dilakukan Selama dan
Sesudah Tanah Longsor
1. Tanggap Darurat
Yang harus dilakukan dalam
tahap tanggap darurat adalah penyelamatan dan pertolongan korban secepatnya
supaya korban tidak bertambah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara
lain:
Ø Kondisi medan
Ø Kondisi bencana
Ø Peralatan
Ø Informasi bencana
2. Rehabilitasi
Upaya pemulihan korban dan
prasarananya, meliputi kondisi sosial, ekonomi, dan sarana transportasi. Selain
itu dikaji juga perkembangan tanah longsor dan teknik pengendaliannya supaya
tanah longsor tidak berkembang dan penentuan relokasi korban tanah longsor bila
tanah longsor sulit dikendalikan.
3. Rekonstruksi
Penguatan bangunan-bangunan
infrastruktur di daerah rawan longsor tidak menjadi pertimbangan utama untuk
mitigasi kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor, karena kerentanan untuk
bangunan-bangunan yang dibangun pada jalur tanah longsor hampir 100%.
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu
dan tempat.
Adapun
pelaksanaan percobaan yang kami lakukan adalah sebagai berikut:
Hari
/tanggal : Minggu, 23 oktober 2011
waktu : Pukul 09.00- selesai
tempat : Kebun kopi, Palu, Sulawesi Tengah
3.2 Alat dan bahan
1.
Kompas bidik
2.
GPS
3.
Meteran
3.3 prosedur penelitian
Prosedur percobaan yang dilakukan adalah
pengambilan data secara langsung kemudian diolah menjadi sebuah laporan. Adapun
proses yang kami lakukan adalah sebagai berikut:
1)
meninjaun lokasi rawan longsor
di beberapa titik.
2)
Mencatat kemiringan tanah,serta
mencatat gps.
3)
Mencatat jenis batuan serta
jenis tanaman di sekitas titik rawan longsor
yang di teliti tersubut.
4)
Mengambil sampel batuan untuk
diteliti lebih lanjut lagi.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Pada penelitian ini kami
memperoleh data dari kelima titik tanah
rawan longsor yang kami teliti di daerah kebun kopi palu.
Lokasi titik pertama
Ø
Kejauhan :
29 km
Ø
Ketinggian :
20,8 m
Ø
Kemiringan :
60o
Ø
GPS
v
Lintang : 00o 3’
460’’
v
Bujur : 119o 55’ 79,1’’
Ø
Vegetasi : Tanaman
alang-alang, putri malu, pinus
Ø
Jenis longsor : Debris flow
Lokasi titik kedua
Ø
Kejauhan :
36 km
Ø
Ketinggian :
9 m
Ø
Kemiringan : 70o
Ø
GPS
v
Lintang : 00o 43’
08,5’’
v
Bujur : 119 o 58’ 08,1’’
Ø
Vegetasi : Tanaman jarak, tanaman paku
Ø
Jenis longsor : longsoran translasi
Lokasi titik ketiga
Ø
Kejauhan :
39 km
Ø
Ketinggian :
5 m
Ø
Kemiringan :
60,5o
Ø
GPS
v
Lintang : 00o 43’
27,5’’
v
Bujur : 119o 58’
36,6’’
Ø
Vegetasi : Tanaman
rumput teki, tanaman paku
Ø
Jenis longsor :
Runtuhan batu
Lokasi titik keempat
Ø
Kejauhan :
42 km
Ø
Ketinggian :
10,4 m
Ø
Kemiringan :
70o
Ø
GPS
v
Lintang : 00o 43’
39,7’’
v
Bujur : 119o 59’
13,0’’
Ø
Vegetasi : Tanaman
rumput teki, tanaman paku
Ø
Jenis longsor :
Runtuhan batu
Lokasi titik kelima
Ø
Kejauhan :
53 km
Ø
Ketinggian :
15 m
Ø
Kemiringan :
55o
Ø
GPS
v
Lintang : 00o 43’
14,0’’
v
Bujur : 120o 01’
07,6’’
Ø
Vegetasi : Tanaman
alang-alang, paku, kayu gamal, cengkeh
Ø
Jenis longsor :
Aliran bahan rombakan
4.2 Pembahasan
Tanah
longsor merupakan gejala alam yang terjadi di sekitar kawasan pegunungan.
Semakin curam kemiringan lereng suatu kawasan, semakin besar kemungkinan
terjadi longsor. Semua material bumi pada lereng memiliki sebuah “sudut
keseimbangan” atau sudut dimana material ini akan tetap ditempatnya hingga
kemiringan 30 derajat, akan tetapi apabila terjadi hujan sehingga tanah/
bebatuan itu basah maka terjadilah ketidakstabilan struktur tanah tersebut dan
akibatnya akan meluncur menjadi longsoran.
Longsor
terjadi saat lapisan bumi paling atas dan bebatuan terlepas dari bagian utama
gunung atau bukit. Hal ini biasanya terjadi karena curah hujan yanh tinggi,
gempa bumi, atau letusan gunung api. Dalam beberapa kasus, penyebab pastinya
tidak diketahui. Longsor dapat terjadi
karena patahan alami dan karena factor
cuaca pada tanah dan bebatuan. Kasus ini terutama pada iklim lembab dan panas
seperti di Indonesia ketika longsor berlangsung lapisan teratas bumi mulai
meluncur deras pada lereng dan mengambil momentum dalam luncuran ini, sehingga
luncuran akan semakin cepat.
Pada
penelitian yang
dilakukan di lima titik lokasi lokasi
rawan longsor di kebun kopi kita dapat mengetahui kondisi dari masing-masing
titik. Pada titik lokasi pertama, telah diukur ketinggian kelongsorannya yaitu
20,8 m dan kemiringannya 60o. Pada daerah
titik pertama lintang dan bujurnya yang diukur menggunakan GPS yaitu 00o 3’ 460’’ dan 119o 55’ 79,1’’. Jenis longsoran pada lokasi titik pertama yaitu longsoran
translasi. Longsoran ini terjadi karena bergerkanya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung. Adapun jenis
material yang terdapat pada daerah titik pertama rawan longsor,dapat kita lihat
pada gambar (7) berikut ini.
Gambar
7. Jenis material pada titik lokasi pertama
Jenis
batu ini merupakan jenis batuan sedimen yaitu batuan yang berbentuk sedimen yang berukuran pasir dan campuran
antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan
mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap
tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.
Selain itu, ada juga jenis vegetasi yang tumbuh pada
daerah titik pertama rawan longsor, yaitu tanaman alang – alang, dapat kita
lihat pada gambar (8) berikut ini:
Gambar 8. Jenis vegetasi pada titik lokasi
pertama
Pada daerah titik
kedua rawan longsor, telah diukur ketinggian kelongsorannya yaitu 9 m dan
kemiringannya 70o. Pada daerah titik pertama
lintang dan bujurnya yang diukur menggunakan GPS yaitu 00o
43’ 08,5’’ dan 119o 58’
08,1’’.
Jenis longsoran pada lokasi titik kedua yaitu longsoran translasi. Longsoran
ini terjadi karena bergerkanya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk cekung. Kita dapat lihat pada gambar (9) berikut ini:
Gambar 9. Lokasi titik kedua longsoran
Adapun jenis material yang terdapat pada daerah titik kedua
rawan longsor,dapat kita lihat pada
gambar (10) berikut ini:
Gambar
10. Jenis material pada titik lokasi kedua
Jenis
batu ini merupakan jenis batuan endapan yaitu batuan yang berbentuk dari endapan
hasil pelapukan batuan. Batuan ini dapat pula terbentuk dari batuan yang
terkikis, berukuran pasir
dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan
tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya
rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.
Selain itu, ada juga jenis vegetasi yang tumbuh pada
daerah titik kedua rawan longsor, yaitu tanaman jarak dan tanaman paku, dapat
kita lihat pada gambar (11) berikut ini:
Gambar
11. Jenis vegetasi pada titik lokasi kedua
Pada daerah titik
ketiga rawan longsor, telah diukur ketinggian kelongsorannya yaitu 5 m dan
kemiringannya 60,5o. Pada daerah titik pertama
lintang dan bujurnya yang diukur menggunakan GPS yaitu 00o
43’ 27,5’’ dan 119o 58’
36,6’’.
Jenis longsoran pada lokasi titik ketiga yaitu longsoran runtuhan batu.
Longsoran ini terjadi karena
ketika sejum-lah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara
jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga meng-gantung
terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan
kerusakan yang parah. Kita dapat lihat pada gambar (12) berikut ini:
Gambar 12. Lokasi titik
ketiga longsoran
Adapun jenis material yang terdapat pada daerah titik
ketiga rawan longsor,dapat kita lihat
pada gambar (13) berikut ini:
Gambar
13. Jenis material pada titik lokasi ketiga
Jenis
batu ini merupakan jenis batuan endapan yaitu batuan yang berbentuk dari
endapan hasil pelapukan batuan. Batuan ini dapat pula terbentuk dari batuan
yang terkikis. Batuan
tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan
terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.
Selain itu, ada juga jenis vegetasi yang tumbuh pada
daerah titik ketiga rawan longsor, yaitu tanaman rumput teki dan tanaman paku,
dapat kita lihat pada gambar (14) berikut ini:
Gambar 14. Jenis vegetasi pada titik lokasi ketiga
Pada
daerah titik keempat rawan longsor, telah diukur ketinggian kelongsorannya yaitu 10,4 m dan
kemiringannya 70o. Pada daerah titik pertama
lintang dan bujurnya yang diukur menggunakan GPS yaitu 00o
43’ 39,7’’ dan 119o 59’
13,0’’.
Jenis longsoran pada lokasi titik keempat yaitu longsoran runtuhan batu.
Longsoran ini terjadi karena
ketika sejum-lah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara
jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga meng-gantung
terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan
kerusakan yang parah. Kita dapat lihat pada gambar (15) berikut ini:
Gambar 15. Lokasi titik keempat
longsoran
Adapun jenis material yang terdapat pada daerah titik
keempat rawan longsor,dapat kita lihat
pada gambar (16) berikut ini:
Gambar
16. Jenis material pada titik lokasi keempat
Jenis
batu ini merupakan jenis batuan sedimen yaitu batuan yang berbentuk sedimen yang berukuran pasir dan campuran
antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan
mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap
tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.
Selain itu, ada juga jenis vegetasi yang tumbuh pada
daerah titik keempat rawan longsor, yaitu tanaman rumput teki dan tanaman paku,
dapat kita lihat pada gambar (17) berikut ini:
Gambar 17. Jenis
vegetasi pada titik lokasi keempat
Pada
daerah titik kelima rawan longsor, telah diukur ketinggian kelongsorannya yaitu 15 m dan
kemiringannya 55o. Pada daerah titik kelima
lintang dan bujurnya yang diukur menggunakan GPS yaitu 00o
43’ 14,0’’ dan 120o 01’
07,6’’.
Jenis longsoran pada lokasi titik kelima yaitu aliran bahan rombakan. Longsoran
ini terjadi karena ketika
massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada
kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya
terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di
beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di
sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak. Kita dapat
lihat pada gambar (18) berikut ini:
Gambar 18. Lokasi titik kelima longsoran
Adapun jenis
material yang terdapat pada daerah titik kelima
rawan longsor, dapat kita lihat pada gambar (19) berikut ini:
Gambar 19. Jenis material pada titik lokasi kelima
Jenis
batu ini merupakan jenis batuan sedimen yaitu batuan yang berbentuk sedimen yang berukuran pasir dan campuran
antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan
mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap
tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.
Selain itu, ada juga jenis vegetasi yang tumbuh pada
daerah titik kelima rawan longsor, yaitu tanaman alang-alang, paku, kayu
gamal,cengkeh, dapat kita lihat pada gambar (20) berikut ini:
Gambar
20. Jenis vegetasi pada titik lokasi kelima
Dari hasil data penelitian yang
diperoleh bahwa penyebab terjadinya tanah longsor di daerah kebun kopi pada
lima titik rawan longsor itu merupakan disebabkan oleh beberapa factor.
Meskipun tanah longsor merupakan gejala alam, beberapa aktivitas manusia bisa
menjadi factor penyebab terjadinya longsor, ketika aktivitas ini beresonansi
dengan keretakan dan kondisi alam yang telah disebutkan. Contoh aktivitas
manusia ini adalah penebangan pohon secara serampangan di daerah lereng;
penambangan bebatuan tanah atau barang tambang lain yang menimbulkan
ketidakstabilan lereng; pemompaan dan pengeringan air tanah yang menyebabkan
turunnya level air tanah, pengubahan aliran air kanal dari jalur alaminya,
kebocoran pada pipa air yang mengubah struktur (termasuk tekanan dalam tanah)
dan tingkat kebasahan tanah dan bebatuan (juga daya ikatnya); pengubahan
kemiringan kawasan, dan pembebanan berlebihan dari bangunan di kawasan
perbukitan. Faktor alam juga merupakan salah satu penyebab terjadinya tanah
longsor. Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain:
a. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiriringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, struktur sesar dan kekar, gempa bumi, stratigrafi dan gunung_api.
b. Iklim: curah hujan yang tinggi.
c. Keadaan topografi: lereng yang curam.
d. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika.
e. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal tanah kritis.
a. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiriringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, struktur sesar dan kekar, gempa bumi, stratigrafi dan gunung_api.
b. Iklim: curah hujan yang tinggi.
c. Keadaan topografi: lereng yang curam.
d. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika.
e. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal tanah kritis.
Para ilmuwan mengkatagorikan tanah longsor yang paling bisa diperkirakan. Ada tiga parameter untuk memantau kemungkinan terjadinya perpindahan massa tanah dalam jumlah besar dalam bentuk longsor, yaitu:
1.
Keretakan pada tanah adalah
wujud yang biasa ditemui pada banyak kasus. Bentuknya bisa kosentris (terpusat
seperti lingkaran) atau parallel dan lebarnya beberapa sentimeter dengan
panjang beberapa meter, sehingga bisa dibedakan dari retakan biasa. Formasi
retakan dan ukurannya yang semakin lebar merupakan parameter ukur umum
semakindekatnya waktu longsor.
2.
Penampakan runtuhnya
bagian-bagian tanah dalam jumlah besar.
3.
Selanjutnya kejadian longsor di
satu tempat menjadi parameter kawasan tanah longsor lebih luas lagi.
Perubahan-perubahan ini seiring waktumengidentifikasi dua hal : kerusakan
lingkungan (misalnya penggundulan hutan dan perubahan cuaca secara ekstrim) dan
menjadi tanda-tanda penting bahwa telah terjadi [enurunan kualitas landskap dan
ekosistem.
Adapun upaya – upaya yang perlu dilakukan dalam penanggulangan
bencana alam tanah longsor.
a. Mengenali tanda – tanda akan terjadinya tanah longsor.
1. pohon atau tiangdi
bukit banyak yang miring
2.terdapat retakan tanah
rembesan air biru
b. Melakukan tindakan pencegahan sebelum terjadi longsor
1. memperbaiki system
saluran air
2. memperbaiki tata guna
lahan dan daerah resapan air
3. jangan mendirikan
banguan diatas atau kaki bukit
4. tidak merusak
pepohonan/ hutan di perbukitan
5. menutup retakan tanah
6. melaporkan kejadian ke
aparat
c. Jika terjadi longsor laksanakan
1. evakuasi dan
penyelamatan korban longsor
2. mendirikan posko dan
dapur umum
3. koordinasi dengan
aparat/pihak terkait
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil dan pembahasan dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Tanah
longsor merupakan gejala alam yang terjadi di sekitar kawasan pegunungan.
Semakin curam kemiringan lereng suatu kawasan, semakin besar kemungkinan
terjadi longsor. Semua material bumi pada lereng memiliki sebuah “sudut
keseimbangan” atau sudut dimana material ini akan tetap ditempatnya hingga
kemiringan 30 derajat, akan tetapi apabila terjadi hujan sehingga tanah/
bebatuan itu basah maka terjadilah ketidakstabilan struktur tanah tersebut dan
akibatnya akan meluncur menjadi longsoran.
Pada
prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar
dari pada gaya penahan yang dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan
tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air
beban serta kestabilan tanah.
5.2
Saran
Ada
beberapa tindakan perlindungan dan perbaikan yang bisa ditambah untuk
tempat-tempat hunian, antara lain:
Ø Perbaikan drainase tanah (menambah
materi-materi yang bisa menyerap).
Ø Modifikasi lereng (pengurangan sudut
lereng sebelum pembangunan).
Ø Vegetasi kembali lereng-lereng.
Ø Beton-beton yang menahan tembok mungkin
bisa menstabilkan lokasi hunian.
Selain itu ada hal-hal yang
harus diketahui untuk menghindari bencana tanah longsor adalah :
Ø Jangan mencetak sawah dan membuat kolam
pada lereng bagian atas di dekat pemukiman
Ø Buatlah terasering (sengkedan) [ada
lereng yang terjal bila membangun permukiman
Ø Segera menutup retakan tanah dan
dipadatkan agar air tidak masuk ke dalam tanah melalui
retakan
Ø Jangan melakukan penggalian di bawah
lereng terjal
Ø Jangan menebang pohon di lereng
Ø Jangan mendirikan permukiman di tepi
lereng yang terjal
Ø Jangan mendirikan bangunan di bawah
tebing yang terjal
Ø Jangan memotong tebing jalan menjadi
tegak
Ø Jangan mendirikan rumah di tepi sungai
yang rawan erosi
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia. 2007. Tanah
Longsor. http://id.wikipedia.org/wiki/tanah_longsor. diakses November 2011.
Bachri, Moch. 2006. Geologi Lingkungan. Malang : CV. Aksara.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Pengenalan
Gerakan Tanah. Jakarta : Mancamedia.