Minggu, 29 Januari 2012

KELONGSORAN

KATA PENGANTAR

            Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat TUHAN yang Maha Esa, karena atas berkat dan tuntunan_Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan “FISIKA LINGKUNGAN”  ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.
            Laporan ini disusun guna menambah pengetahuan lingkungan, baik itu mengenai kelongsoran. Kami juga berharap agar laporan ini bermanfaat untuk kedepannya.
            Kami  menyadari bahwa laporan masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, kami sangat membutuhkan  kritik dan saran yang sikapnya membangun demi kesempurnaan laporan selanjutnya.
            Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah dan teman-teman yang telah banyak membantu atas selesainya laporan ini.

Palu, 10November 2011
                                                                                                                                                              Penyusun



                                                           
DAFTAR ISI

BAB I             P E N D A H U L U A N…………………………………..                     
1.1         Latar  Belakang……………………………………..         
1.2         Rumusan Masalah…………………………………..         
1.3         Tujuan Penelitian……………………………………         
1.4         Manfaat  Penelitian…………………………………          
BAB II            TINJAUAN PUSTAKA………………………………….          
2.1  Pengertian Tanah Longsor........................................................ 
2.2  Jenis-jenis Tanah Longsor........................................................ 
2.3  Gejala Umum Tanah Longsor.................................................. 
2.4  Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor............... 
2.5  Wilayah Rawan Tanah Longsor............................................. 
2.5  Tahapan Mitigasi Bencana Tanah Longsor............................. 
                        2.7  Tindakan Yang Bisa Dilakukan Selama dan Sesudah
                                Tanah Longsor……………………………………………..   
BAB III          M E T O D O L O G I……………………………………….   
                        3.1       Waktu dan Tempat……………………………………     
                        3.2       Alat dan Bahan……………………………………….     
                        3.3       Prosedur Kerja………………………………………..     


BAB IV          HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………….      
4.1  Hasil Pengamatan………………………………………...      
4.2  Pembahasan………………………………………………      
BAB V            P E N U T U P………………………………………………      
                        5.1 Kesimpulan………………………………………………      
                        5.2 Saran……………………………………………………..      
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................     

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

            Bencana alam sebagai peristiwa alam dapat terjadi setiap saat dimana saja dan kapan saja, disamping menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat. Gerakan tanah adalah salah satu bencana alam yang sering mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya yang_membawa_dampak_sosial_dan_ekonomi.

             Bencana adalah sesuatu yang tidak kita harapkan, oleh karena itu pemahaman terhadap proses terjadinya gerakan tanah berikut faktor penyebabnya menjadi sangat penting bagi pemerintah maupun masyarakat. Alternatif penanggulangan bencana baik dari aspek pencegahan (preventif), pengurangan (mitigasi) maupun penanggulangan (rehabilitasi) perlu dikaji secara mendalam.

1.2  Rumusan Masalah
            Dari latar belakang permasalahan di atas maka kami merumuskan masalah yang perlu ditanggulangi sebagai berikut :
1)      Faktor apa saja yang menyebabkan bencana tanah longsor ?
2)      Macam- macam longsoran apa saja yang dapat ditemui di daerah kebun kopi?

1.3  Tujuan penelitian
Tujuan penulis membuat makalah ini adalah :
1.      Mengidentifikasi penyebab  terjadinya bencana alam tanah lonsor dan pencegahan terjadinya bencana alam tanah longsor.
2.       Mengidentifikasi macam-macam longsoran beserta jenis batuan dan vegetasinya.
3.      Menambah wawasan dan pengetahuan tentang bencana alam tanah longsor.

1.4  Manfaat Penelitian
        Dengan penelitian ini mahasiswa sebagai praktikan mendapatkan manfaat sebagai berikut:
1.         Paham dan kenal terhadap alat pengukur yang digunakan pada penelitian        ini, yaitu         penggunaan kompas dan GPS.
2.         Penelitian ini sangat bermanfaat dalam menentukan zona bidang gelincir         sebagai            upaya awal         menentukan potensi dan arah longsoran yang     mungkin bisa terjadi    diwaktu yang akan      datang.
3.         Pengetahuan mahasiswa menjadi beertambah akan materi tentang tanah          longsor.
4.         dan hal ini sangat bermanfaat bagi masyarakat sekita




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1   Pengertian Tanah Longsor
Tanah longsor atau dalam bahasa Inggris disebut Landslide, adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.

Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor adalah air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.

Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Konsekuensi dari tumbukan itu maka terbentuk palung samudera, lipatan, punggungan dan patahan di busur kepulauan, sebaran gunung api, dan sebaran sumber gempa bumi.

        Keruntuhan lereng dapat terjadi karena berkurangnya/menurifnnya kernampuan kuat geser tanah secara perlahan‑lahan atau mendadak atau perubahan kondisi geometri lereng akibat galian misalnya, sehingga lereng menjadi curam. Parameter penting yang dibutuhkan dalam analisis stabilitas lereng adalah kuat geser, geometri lereng, tegangan air pori atau gaya rembesan, dan beban serta'kondisi lingkungan sekitar lereng. Konsep stabilitas lereng menggunakan metode analisis dalarn memprediksi kestabilan lereng tanah untuk dua dimensi telah banyak dikembangkan oleh ahli‑ahli geoteknik. Umumnya untuk menyatakan lereng dalarn kondisi stabil (mantab) dinyatakan dengan angka aman (FOS) yang merupakan rasio antara gaya atau momen yang melawan terjadinya longsor dan gaya atau momen yang melongsorkan. Besamya angka aman disesuaikan dengan beban yang bekerja, untuk kondisi beban normal artinya beban yang beketja terus menerus pada lereng mempunyai nilai 1,5‑2, sedang untuk beban sernentara (misal : beban gernpa) digunakan angka. arnan lebih rendah yaitu 1,1‑1,2, karena. beban ini bekerja dalam waktu relatif pendek. Konsep stabilitas lereng adalah menggunakan metode keseirnbangan batas (limit equilibrium) dengan lereng yang diperkirakan akan runtuh dibagi‑bagi menjadi 8‑15 pias. Metode ini antara. lain : Ordinary Method of Slice (OMS) dikembangkan oleh Fellenius (1927, 1936). Dalam analisisnya Fellenius mengabaikan keseirnbangan gaya. di kedua sisi pias dan massa tanah yang diperkirakan akan runtuh sebagai satu kesatuan. Metode ini merupakan metode dengan prosedur paling sederhana serta sebagai dasar sernua metode selanjutnya. Bishop simplified (1955) meniadakan sernua. gaya geser antar pias, narnun keseirnbangan gaya horisontal diperhitungkan secara keseluruhan. Janbu (1954, 1957, 1973) dengan anggapan seperti metode Bishop simplified narnun tidak meninjau keseirnbangan. mornen, Lowe dan Karafiath (1960) menganggap gaya‑gaya. antar pias membentuk sudut sebesar rerata sudut alas dan atas pias. Corps of Engineers (1982) dengan anggapan. kemiringan gaya‑gaya. antar pias sarna dengan kerniringan lereng atau sama dengan rerata. Sudut kerniringan. ujung‑ujung pennukaan bidang runtuh. Spencer (1967, 1973) dalarn Winterkorn dan Fang, 1975, beranggapan. besarnya. gaya‑ gaya antar pias adalah sarna, narnun tidak diketahui arahnya. Sarma. (1973), dan Morgenstern & Price (1965) dalam Winterkorn dan Fang, 1975, menggunakan fungsi distribusi gaya antar pias. Fredlund dan Rahardjo (1993) cenderung meninjau kondisi lereng sebagai suatu lapisan tanah yang tidak kenyang air (unsaturated), sedang metode lainnya. dengan anggapan tanah dalarn konsidi kenyang air (saturated) atau kondisi kering. Dua metode yaitu Fellenius dan Bishop hanya dapat digunakan, apabila. bentuk bidang gelincir berbentuk tarnpang lingkaran, sedangkan bentuk bidang gelincir tidak berbentuk lingkaran menggunakan metode Janbu, Corps of Engineers, Lowe dan Karafiath, sedang analisis stabilitas lereng untuk lereng tidak kenyang air menggunakan metode Fredlund dan Rahardjo, narnun untuk mengetabui metode mana yang paling cocok, digunakan metode GLE (General Limit Equilibrium) yang mendasarkan pada keseimbangan gaya. dan keseirnbangan momen. Cara analisis ini baru dapat dilakukan, apabila sudah didapatkan parameter‑perameter tanah dari hasil uji geoteknik di lapangan maupun di laboratorium. Dalam mela­kukan uji lapangan perlu dilakukan secara teliti untuk mendapatkan data yang akurat, danmewakili seluruh daerah yang diuji. Berbagai uji lapangan dapat digunakan untuk mendapatkan letak bidang gelincir antara lain dengan alat uji penetrasi statis (Suryolelono, 1996b), atau dinamis, dan selanjutnya diambil sampelnya untuk uji laboratorium guna mendapatkan parameter tanah.

Konsep metode analisis tiga dimensi keruntuhan lereng adalah tegangan geser pada setiap titik selalu berubah berdasarkan waktu dan lokasinya, dengan bidang longsor yang tidak selalu berbentuk busur lingkaran. Perbedaan konsep metode analisis dua dimensi dengan tiga dimensi keruntuhan lereng adalah pada metode dua dimensi tegangan geser sepanjang permukaan bidang longsor adalah konstan, sedang pada metode tiga dimensi, pada setiap titik tinjauan selalu berubah berdasarkan. fungsi waktu. dan tempatnya (Nakamura, dkk., 1989; Sasa, 1987).

Dari hasil analisis tersebut, apabila lereng dinyatakan labil, maka. diperlukan usaha untuk mengantisipasinya. Metode stabilitas lereng umumnya, mengurangi gaya yang melongsorkan atau menye­babkan lereng tanah tersebut longsor (bergerak turun) ke arah kaki lereng, memperbesar gaya perlawanan terhadap gaya yang melong­sorkan, atau kombinasi ke duanya. Secara umum metode stabilitas lereng ini dapat dilakukan secara fisis, mekanis, khemis, dan bio engineering dengan memperhatikan kondisi lereng yang labil, sehing­ga dapat ditentukan metode yang paling tepat.

Metode stabilitas lereng secara fisis merupakan metode yang paling sederhana, namun hasilnya dapat diandalkan. Usaha stabilisasi dengan membuat lereng lebih landai, sehingga lereng menjadi tidak curam, atau mengurangi beban di bagian atas lereng dengan memin­dahkan material di bagian puncak lereng ke kaki lereng, menempatkan konstruksi bahu lereng (benn) merupakan usaha untuk melandaikan lereng. Penempatan pratibobot (counterweight‑merupakan konstruksi timbunan batu atau tanah di bagian kaki lereng), memberikan hasil yang memuaskan, namun diperlukan ruangan (space) yang cukup luas, karena berkaitan dengan usaha galian dan timbunan. Teknik ini adalah mengurangi gaya yang melongsorkan akibat massa tanah yang bergerak turun atau menambah besamya perlawanan geser.

Usaha lain untuk membuat lereng tetap stabil dengan menem­patkan sistern drainase permukaan (surface drainage) atau bawah permukaan (sub surface drainage) yang mampu untuk mengevakuasi sebagian air terutama air hujan yang berinfiltrasi ke dalarn tanah, agar tanah/batuan pembentuk lereng tidak menjadi dalam kondisi jenuh air. Air hujan yang berinfiltrasi ke dalain tanah menyebabkan muka air tanah naik, sehingga memperbesar tekanan hidrostatis pada lereng tersebut. Selain itu, akibat tekanan rembesan dapat menimbulkan terjadinya peristiwa erosi buluh (piping) di bagian lereng, dan semakin lama semakin besar sesuai dengan perkembangan debit aliran rem­besan. Pada lereng‑lereng yang menunjukan gejala munculnya mata air rembesan di bagian kaki lereng setelah te~adi hujan, merupakan suatu indikasi bahwa lereng ini tidak mantab (labil). Berbagai bentuk drainase permukaan dapat berupa selokan atau parit drain, dan drainase bawah permukaan antara lain drain horisontal, lapisan drain, relief drain dan terowongan drain telah banyak digunakan, dan hasilnyapun dapat diandalkan (Suryolelono, 1993, 1999).

Cara mekanis dalarn usaha stabilisasi lereng dilakukan apabila ruangan yang tersedia sangat sempit, artinya bila cara fisis sangat sulit untuk diterapkan, barulah dilakukan dengan cara mekanis. Cara ini dengan menempatkdn konstruksi penahan tanah konvensional, atau metode baru yaitu perkuatan tanah (soil reinfoercement), pengang­keran tanah (soil nailling), namun keberhasilan konstruksi ini akan lebih baik, apabila didukung dengan sistern drainase permukaan maupun bawah permukaan, dan pada konstruksi penahan tanah itu sendiri. Kegagalan konstruksi penahan tanah konvensional yang te~adi di kota Semarang (Forum, Maret 2002; Kedaulatan Rakyat, 17, 18, 20, 23 Februari 2002), runtuhnya candi Selogriyo (Suryolelono, 1995b; 1996), karena buruknya sistern drainase pada. konstruksi penahan tanah, dan sistern drainase di sekitar konstruksi itu. Cara lain untuk mengantisipasi gerakan tanah ini dengan memancang tiang atau turap (sheet pile) di bagian lereng yang longsor, namun tiang atau turap harus cukup panjang dan melewati bidang longsor, sehingga efektif untuk menghambat turunnya material tanah yang longsor.

Metode stabilisasi dengan cara khemis merupakan usaha mencampur bahan tanah dengan semen (soil cement‑shotcrete), atau bahan kapur, abu sekarn padi (ASP‑abu sekarn padi‑RHA‑rice husk ash) (Suryolelono & Fathani, 2000), abu terbang (fly ash), sementasi (grouting) untuk meningkatkan kuat geser tanah, namun pemanfaatan bahan kimia ini perlu dipertimbangkan pengaruhnya terhadap lingkungan.

Bio engineering merupakan suatu usaha stabilisasi lereng dengan menutup lereng‑lereng yang terbuka dengan tanaman. Tujuan dari usaha ini, agar air hujan sebagai pemicu gerakan lereng dapat ditahan sementara, atau tidak segera infiltrasi ke ' dalarn tanah, namun metode ini membutuhkan waktu lama. Umumnya metode ini diguna­kan apabila lereng diindentifikasi rawan terhadap erosi dan berakibat lanjut lereng longsor. Jenis tanaman yang direkomendasi oleh Bank Dunia seperti jati, akasia, johar, pinus mahoni, kemiri, damar dan lain­lain, perlu disesuaikan dengan kondisi lereng setempat dan atas saran­saran dari para ahli di bidang yang berkaitan. Mengurangi atau meng­hindari pembangunan teras bangku di lereng‑lereng rawan longsor tanpa dilengkapi dengan saluran pembuangan air (SPA) dan saluran drainase bawah permukaan tanah untuk menurunkan muka air tanah, mengurangi intensifikasi pengolahan tanah di daerah rawan longsor (Soedjoko, 2000) merupakan salah satu usaha stabilisasi lereng rawan longsor. Umumnya usaha penanggulangan kelongsoran lereng yang digunakan merupakan kombinasi baik cara fisis, mekanis, khemis atau bio engineering, untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

2.2   Jenis-jenis Tanah Longsor
Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan.
1)      Longsoran Translasi
Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.


                                         
                                          Gambar 1. Longsoran Translasi

2)  Longsoran Rotasi
Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.
                                            
                                               Gambar 2. Longsoran Rotasi



3)      Pergerakan Blok
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.

                                    
                                           Gambar 3. Pergerakan Blok

4)      Runtuhan Batu
Runtuhan batu terjadi ketika sejum-lah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga meng-gantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
                                        
                                                Gambar 4. Runtuhan batu

5)      Rayapan Tanah
Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.

                                        
                                                Gambar 5. Rayapan Tanah

6)      Aliran Bahan Rombakan
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
                       
                                    Gambar 6. Aliran Bahan Rombakan

2.3   Gejala Umum Tanah Longsor
Gejala-gejala umum yang biasanya timbul sebelum terjadinya bencana tanah longsor adalah :
Ø  Munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing.
Ø  Biasanya terjadi setelah hujan.
Ø  Munculnya mata air baru secara tiba-tiba.
Ø  Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan.


2.4   Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor
Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan.

1.      Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan.
Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat.
Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah. 
   
2.      Lereng terjal
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar. 


3.      Tanah yang kurang padat dan tebal
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.

4.      Batuan yang kurang kuat 
Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

5.      Jenis tata lahan 
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

6.      Getaran
Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak.

7.      Susut muka air danau atau bendungan
Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.
     
8.      Adanya beban tambahan 
Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.
     
9.      Pengikisan/erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.
     
10.  Adanya material timbunan pada tebing
Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.

11.  Bekas longsoran lama 
Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memilki ciri :
Ø  Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda.
Ø  Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur.
Ø  Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai.
Ø  Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah.
Ø  Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama.
Ø  Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil.
Ø  Longsoran lama ini cukup luas.
 
12.  Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung)
Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri:
Ø  Bidang perlapisan batuan
Ø  Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar
Ø  Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat.
Ø  Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air).
Ø  Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.
Ø  Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.       

13.  Penggundulan hutan 
Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang.
      
14.     Daerah pembuangan sampah 
Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan guyuran hujan, seperti yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah di Cimahi. Bencana ini menyebabkan sekitar 120 orang lebih meninggal.

2.5   Wilayah Rawan Tanah Longsor
Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap tahunnya kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta.
Daerah yang memiliki rawan longsor :
Ø  Jawa Tengah 327 Lokasi
Ø  Jawa Barat 276 Lokasi
Ø  Sumatera Barat 100 Lokasi
Ø  Sumatera Utara 53 Lokasi
Ø  Yogyakarta 30 Lokasi
Ø  Kalimantan Barat 23 Lokasi
Ø  Sisanya tersebar di NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa Timur. 

DAFTAR KEJADIAN DAN KORBAN BENCANA TANAH LONGSOR 2003-2005
No.
Propinsi
Jumlah
Kejadian
Korban Jiwa
RH
RR
RT
LPR
(ha)
JL
(m)
MD
LL
1.
Jawa Barat
77
166
108
198
1751
2290
140
705
2.
Jawa Tenah
15
17
9
31
22
200
1
75
3.
Jawa Timur
1
3
-
-
27
-
70
-
4.
Sumatera Barat
5
63
25
16
14
-
540
60
5.
Sumatera Utara
3
126
-
1
40
8
-
80
6.
Sulawesi Selatan
1
33
2
10
-
-
-
-
7.
Papua
1
3
5
-
-
-
-
-

Jumlah
103
411
149
256
1854
2498
751
920

  Keterangan :
  MD : Meninggal dunia 
  ML : Luka - luka 
  RR : Rumah rusak
  RH : Rumah hancur 
  RT : Rumah terancam 
  BLR : Bangunan lainnya rusak 
  BLH : Bangunan lainnya hancur 
  LPR : Lahan petanian rusak ( dalam hektar) 
  JL : Jalan terputus 

  Tampak bahwa kejadian bencana dan jumlah korban bencana tanah longsor di Propinsi Jawa Barat lebih besar dibandingkan dengan propinsi lainnya. Hal demikian disebabkan oleh faktor geologi, morfologi, curah hujan, dan jumlah penduduk serta kegiatannya.

2.6   Tahapan Mitigasi Bencana Tanah Longsor 
Ø  Pemetaan
Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari bencana.
Ø  Penyelidikan
Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana pengembangan wilayah.
Ø  Pemeriksaan
Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penanggulangannya.
Ø  Pemantauan
Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana, pada daerah strategis secara ekonomi dan jasa, agar diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
Ø  Sosialisasi
Memberikan pemahaman kepada Pemerintah Provinsi /Kabupaten /Kota atau Masyarakat umum, tentang bencana alam tanah longsor dan akibat yang ditimbulkannnya. Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara antara lain, mengirimkan poster, booklet, dan leaflet atau dapat juga secara langsung kepada masyarakat dan aparat pemerintah
Ø  Pemeriksaan bencana longsor
Bertujuan mempelajari penyebab, proses terjadinya, kondisi bencana dan tata cara penanggulangan bencana di suatu daerah yang terlanda bencana tanah longsor. 

2.7   Tindakan Yang Bisa Dilakukan Selama dan Sesudah Tanah Longsor
1.      Tanggap Darurat 
Yang harus dilakukan dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan dan pertolongan korban secepatnya supaya korban tidak bertambah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:
Ø  Kondisi medan
Ø  Kondisi bencana
Ø  Peralatan
Ø  Informasi bencana
2.      Rehabilitasi
Upaya pemulihan korban dan prasarananya, meliputi kondisi sosial, ekonomi, dan sarana transportasi. Selain itu dikaji juga perkembangan tanah longsor dan teknik pengendaliannya supaya tanah longsor tidak berkembang dan penentuan relokasi korban tanah longsor bila tanah longsor sulit dikendalikan.
3.      Rekonstruksi
Penguatan bangunan-bangunan infrastruktur di daerah rawan longsor tidak menjadi pertimbangan utama untuk mitigasi kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor, karena kerentanan untuk bangunan-bangunan yang dibangun pada jalur tanah longsor hampir 100%. 





BAB III
METODOLOGI
3.1         Waktu dan tempat.
              Adapun pelaksanaan percobaan yang kami lakukan adalah sebagai berikut:
              Hari /tanggal          :  Minggu, 23 oktober 2011
              waktu                     :  Pukul 09.00- selesai
              tempat                    :  Kebun kopi, Palu, Sulawesi Tengah

3.2         Alat dan bahan
1.   Kompas bidik
2.   GPS
3.   Meteran

3.3         prosedur penelitian
     Prosedur percobaan yang dilakukan adalah pengambilan data secara langsung kemudian diolah menjadi sebuah laporan. Adapun proses yang kami lakukan adalah sebagai berikut:
1)   meninjaun lokasi rawan longsor di beberapa titik.
2)   Mencatat kemiringan tanah,serta mencatat gps.
3)   Mencatat jenis batuan serta jenis tanaman di sekitas titik rawan        longsor yang di                teliti     tersubut.
4)   Mengambil sampel batuan untuk diteliti lebih lanjut lagi.





BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1  Hasil Pengamatan
                    Pada penelitian ini kami memperoleh data dari kelima titik  tanah rawan                      longsor  yang kami teliti di daerah kebun kopi palu.
*   Lokasi titik pertama
Ø  Kejauhan               :  29 km
Ø  Ketinggian            :  20,8 m
Ø  Kemiringan           :  60o
Ø  GPS
v  Lintang      :  00o 3’ 460’’
v  Bujur         : 119o 55’ 79,1’’
Ø  Vegetasi                :  Tanaman alang-alang, putri malu, pinus
Ø  Jenis longsor          :  Debris flow
*   Lokasi titik kedua
Ø  Kejauhan               :  36 km
Ø  Ketinggian            :  9 m
Ø  Kemiringan           : 70o
Ø  GPS
v  Lintang      :  00o 43’ 08,5’’
v  Bujur         : 119 o 58’ 08,1’’
Ø  Vegetasi                : Tanaman jarak, tanaman paku
Ø  Jenis longsor          : longsoran translasi
*   Lokasi titik ketiga
Ø  Kejauhan               :  39 km
Ø  Ketinggian            :  5 m
Ø  Kemiringan           :  60,5o

Ø  GPS
v  Lintang      :  00o 43’ 27,5’’
v  Bujur         :  119o 58’ 36,6’’
Ø  Vegetasi                :  Tanaman rumput teki, tanaman paku
Ø  Jenis longsor          :  Runtuhan batu

*   Lokasi titik keempat
Ø  Kejauhan               :  42 km
Ø  Ketinggian            :  10,4 m
Ø  Kemiringan           :  70o
Ø  GPS
v  Lintang      :  00o 43’ 39,7’’
v  Bujur         :  119o 59’ 13,0’’
Ø  Vegetasi                :  Tanaman rumput teki, tanaman paku
Ø  Jenis longsor          :  Runtuhan batu

*   Lokasi titik kelima
Ø  Kejauhan               :  53 km
Ø  Ketinggian            :  15 m
Ø  Kemiringan           :  55o
Ø  GPS
v  Lintang      :  00o 43’ 14,0’’
v  Bujur         :  120o 01’ 07,6’’
Ø  Vegetasi                :  Tanaman alang-alang, paku, kayu gamal, cengkeh
Ø  Jenis longsor          :  Aliran bahan rombakan



4.2  Pembahasan
            Tanah longsor merupakan gejala alam yang terjadi di sekitar kawasan pegunungan. Semakin curam kemiringan lereng suatu kawasan, semakin besar kemungkinan terjadi longsor. Semua material bumi pada lereng memiliki sebuah “sudut keseimbangan” atau sudut dimana material ini akan tetap ditempatnya hingga kemiringan 30 derajat, akan tetapi apabila terjadi hujan sehingga tanah/ bebatuan itu basah maka terjadilah ketidakstabilan struktur tanah tersebut dan akibatnya akan meluncur menjadi longsoran.

            Longsor terjadi saat lapisan bumi paling atas dan bebatuan terlepas dari bagian utama gunung atau bukit. Hal ini biasanya terjadi karena curah hujan yanh tinggi, gempa bumi, atau letusan gunung api. Dalam beberapa kasus, penyebab pastinya tidak diketahui. Longsor  dapat terjadi karena patahan alami dan  karena factor cuaca pada tanah dan bebatuan. Kasus ini terutama pada iklim lembab dan panas seperti di Indonesia ketika longsor berlangsung lapisan teratas bumi mulai meluncur deras pada lereng dan mengambil momentum dalam luncuran ini, sehingga luncuran akan semakin cepat.

        Pada penelitian yang dilakukan  di lima titik lokasi lokasi rawan longsor di kebun kopi kita dapat mengetahui kondisi dari masing-masing titik. Pada titik lokasi pertama, telah diukur ketinggian kelongsorannya yaitu 20,8 m dan kemiringannya 60o. Pada daerah titik pertama lintang dan bujurnya yang diukur menggunakan GPS yaitu 00o 3’ 460’’ dan   119o 55’ 79,1’’. Jenis longsoran pada lokasi titik pertama yaitu longsoran translasi. Longsoran ini terjadi karena bergerkanya  massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung. Adapun jenis material yang terdapat pada daerah titik pertama rawan longsor,dapat kita lihat pada gambar (7)  berikut ini.
Gambar 7. Jenis material pada titik lokasi pertama
Jenis batu ini merupakan jenis batuan sedimen yaitu batuan yang berbentuk sedimen yang berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

Selain itu, ada juga jenis vegetasi yang tumbuh pada daerah titik pertama rawan longsor, yaitu tanaman alang – alang, dapat kita lihat pada gambar (8) berikut ini:
Gambar 8. Jenis vegetasi pada titik lokasi pertama

            Pada daerah titik kedua rawan longsor, telah diukur ketinggian kelongsorannya yaitu 9 m dan kemiringannya 70o. Pada daerah titik pertama lintang dan bujurnya yang diukur menggunakan GPS yaitu 00o 43’ 08,5’’ dan   119o 58’ 08,1’’. Jenis longsoran pada lokasi titik kedua yaitu longsoran translasi. Longsoran ini terjadi karena bergerkanya  massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung. Kita dapat lihat pada gambar (9) berikut ini:

                                        Gambar 9. Lokasi titik kedua longsoran

Adapun jenis material yang terdapat pada daerah titik kedua  rawan longsor,dapat kita lihat pada gambar (10) berikut ini:
Gambar 10. Jenis material pada titik lokasi kedua
                                                                                                      

Jenis batu ini merupakan jenis batuan endapan yaitu batuan yang berbentuk dari endapan hasil pelapukan batuan. Batuan ini dapat pula terbentuk dari batuan yang terkikis, berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

Selain itu, ada juga jenis vegetasi yang tumbuh pada daerah titik kedua rawan longsor, yaitu tanaman jarak dan tanaman paku, dapat kita lihat pada gambar (11) berikut ini:
     
Gambar 11. Jenis vegetasi pada titik lokasi kedua

   Pada daerah titik ketiga rawan longsor, telah diukur ketinggian kelongsorannya yaitu 5 m dan kemiringannya 60,5o. Pada daerah titik pertama lintang dan bujurnya yang diukur menggunakan GPS yaitu 00o 43’ 27,5’’ dan   119o 58’ 36,6’’. Jenis longsoran pada lokasi titik ketiga yaitu longsoran runtuhan batu. Longsoran ini terjadi karena ketika sejum-lah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga meng-gantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah. Kita dapat lihat pada gambar (12) berikut ini:

Gambar 12. Lokasi titik ketiga longsoran

Adapun jenis material yang terdapat pada daerah titik ketiga  rawan longsor,dapat kita lihat pada gambar  (13) berikut ini:
Gambar 13. Jenis material pada titik lokasi ketiga

Jenis batu ini merupakan jenis batuan endapan yaitu batuan yang berbentuk dari endapan hasil pelapukan batuan. Batuan ini dapat pula terbentuk dari batuan yang terkikis. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

Selain itu, ada juga jenis vegetasi yang tumbuh pada daerah titik ketiga rawan longsor, yaitu tanaman rumput teki dan tanaman paku, dapat kita lihat pada gambar (14) berikut ini:

Gambar 14. Jenis vegetasi pada titik lokasi ketiga

   Pada daerah titik keempat rawan longsor, telah diukur ketinggian kelongsorannya yaitu 10,4 m dan kemiringannya 70o. Pada daerah titik pertama lintang dan bujurnya yang diukur menggunakan GPS yaitu 00o 43’ 39,7’’ dan   119o 59’ 13,0’’. Jenis longsoran pada lokasi titik keempat yaitu longsoran runtuhan batu. Longsoran ini terjadi karena ketika sejum-lah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga meng-gantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah. Kita dapat lihat pada gambar (15) berikut ini:

                            Gambar 15. Lokasi titik keempat longsoran
Adapun jenis material yang terdapat pada daerah titik keempat  rawan longsor,dapat kita lihat pada gambar (16) berikut ini:
Gambar 16. Jenis material pada titik lokasi keempat

Jenis batu ini merupakan jenis batuan sedimen yaitu batuan yang berbentuk sedimen yang berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

Selain itu, ada juga jenis vegetasi yang tumbuh pada daerah titik keempat rawan longsor, yaitu tanaman rumput teki dan tanaman paku, dapat kita lihat pada gambar (17) berikut ini:

Gambar 17. Jenis vegetasi pada titik lokasi keempat

   Pada daerah titik kelima rawan longsor, telah diukur ketinggian kelongsorannya yaitu 15 m dan kemiringannya 55o. Pada daerah titik kelima lintang dan bujurnya yang diukur menggunakan GPS yaitu 00o 43’ 14,0’’ dan   120o 01’ 07,6’’. Jenis longsoran pada lokasi titik kelima yaitu aliran bahan rombakan. Longsoran ini terjadi karena ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak. Kita dapat lihat pada gambar (18) berikut ini:

Gambar 18. Lokasi titik kelima longsoran

Adapun jenis material yang terdapat pada daerah titik kelima  rawan longsor, dapat kita lihat pada gambar (19) berikut ini:

Gambar 19. Jenis material pada titik lokasi kelima

Jenis batu ini merupakan jenis batuan sedimen yaitu batuan yang berbentuk sedimen yang berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

Selain itu, ada juga jenis vegetasi yang tumbuh pada daerah titik kelima rawan longsor, yaitu tanaman alang-alang, paku, kayu gamal,cengkeh, dapat kita lihat pada gambar (20) berikut ini:


Gambar 20. Jenis vegetasi pada titik lokasi kelima
                                                                                                                                             
            Dari hasil data penelitian yang diperoleh bahwa penyebab terjadinya tanah longsor di daerah kebun kopi pada lima titik rawan longsor itu merupakan disebabkan oleh beberapa factor. Meskipun tanah longsor merupakan gejala alam, beberapa aktivitas manusia bisa menjadi factor penyebab terjadinya longsor, ketika aktivitas ini beresonansi dengan keretakan dan kondisi alam yang telah disebutkan. Contoh aktivitas manusia ini adalah penebangan pohon secara serampangan di daerah lereng; penambangan bebatuan tanah atau barang tambang lain yang menimbulkan ketidakstabilan lereng; pemompaan dan pengeringan air tanah yang menyebabkan turunnya level air tanah, pengubahan aliran air kanal dari jalur alaminya, kebocoran pada pipa air yang mengubah struktur (termasuk tekanan dalam tanah) dan tingkat kebasahan tanah dan bebatuan (juga daya ikatnya); pengubahan kemiringan kawasan, dan pembebanan berlebihan dari bangunan di kawasan perbukitan. Faktor alam juga merupakan salah satu penyebab terjadinya tanah longsor. Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain:
a. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiriringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung,     struktur sesar dan kekar, gempa bumi, stratigrafi dan gunung_api.
b. Iklim: curah hujan yang tinggi.
c. Keadaan topografi: lereng yang curam.
d. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika.
e. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal tanah kritis.

             Para ilmuwan mengkatagorikan tanah longsor yang paling bisa diperkirakan. Ada tiga parameter untuk memantau kemungkinan terjadinya perpindahan massa tanah dalam jumlah besar dalam bentuk longsor, yaitu:
1.      Keretakan pada tanah adalah wujud yang biasa ditemui pada banyak kasus. Bentuknya bisa kosentris (terpusat seperti lingkaran) atau parallel dan lebarnya beberapa sentimeter dengan panjang beberapa meter, sehingga bisa dibedakan dari retakan biasa. Formasi retakan dan ukurannya yang semakin lebar merupakan parameter ukur umum semakindekatnya waktu longsor.
2.      Penampakan runtuhnya bagian-bagian tanah dalam jumlah besar.
3.      Selanjutnya kejadian longsor di satu tempat menjadi parameter kawasan tanah longsor lebih luas lagi. Perubahan-perubahan ini seiring waktumengidentifikasi dua hal : kerusakan lingkungan (misalnya penggundulan hutan dan perubahan cuaca secara ekstrim) dan menjadi tanda-tanda penting bahwa telah terjadi [enurunan kualitas landskap dan ekosistem.
Adapun upaya – upaya yang perlu dilakukan dalam penanggulangan bencana alam tanah longsor.
a. Mengenali tanda – tanda akan terjadinya tanah longsor.
      1. pohon atau tiangdi bukit banyak yang miring
      2.terdapat retakan tanah rembesan air biru
b. Melakukan tindakan pencegahan sebelum terjadi longsor
      1. memperbaiki system saluran air
      2. memperbaiki tata guna lahan dan daerah resapan air
      3. jangan mendirikan banguan diatas atau kaki bukit
      4. tidak merusak pepohonan/ hutan di perbukitan
      5. menutup retakan tanah
      6. melaporkan kejadian ke aparat
c. Jika terjadi longsor laksanakan
      1. evakuasi dan penyelamatan korban longsor
      2. mendirikan posko dan dapur umum
      3. koordinasi dengan aparat/pihak terkait




BAB V
PENUTUP

5.1   Kesimpulan
      Berdasarkan dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:
            Tanah longsor merupakan gejala alam yang terjadi di sekitar kawasan pegunungan. Semakin curam kemiringan lereng suatu kawasan, semakin besar kemungkinan terjadi longsor. Semua material bumi pada lereng memiliki sebuah “sudut keseimbangan” atau sudut dimana material ini akan tetap ditempatnya hingga kemiringan 30 derajat, akan tetapi apabila terjadi hujan sehingga tanah/ bebatuan itu basah maka terjadilah ketidakstabilan struktur tanah tersebut dan akibatnya akan meluncur menjadi longsoran.
            Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan yang dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air beban serta kestabilan tanah.

5.2    Saran
Ada beberapa tindakan perlindungan dan perbaikan yang bisa ditambah untuk tempat-tempat hunian, antara lain:
Ø     Perbaikan drainase tanah (menambah materi-materi yang bisa menyerap).
Ø     Modifikasi lereng (pengurangan sudut lereng sebelum pembangunan).
Ø     Vegetasi kembali lereng-lereng.
Ø     Beton-beton yang menahan tembok mungkin bisa menstabilkan lokasi hunian.




Selain itu ada hal-hal yang harus diketahui untuk menghindari bencana tanah longsor adalah :
Ø  Jangan mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas di dekat            pemukiman
Ø  Buatlah terasering (sengkedan) [ada lereng yang terjal bila membangun       permukiman
Ø  Segera menutup retakan tanah dan dipadatkan agar air tidak masuk ke dalam tanah      melalui retakan
Ø  Jangan melakukan penggalian di bawah lereng terjal
Ø  Jangan menebang pohon di lereng
Ø  Jangan mendirikan permukiman di tepi lereng yang terjal
Ø  Jangan mendirikan bangunan di bawah tebing yang terjal
Ø  Jangan memotong tebing jalan menjadi tegak
Ø  Jangan mendirikan rumah di tepi sungai yang rawan erosi


DAFTAR PUSTAKA


Wikipedia. 2007. Tanah Longsor. http://id.wikipedia.org/wiki/tanah_longsor. diakses  November 2011.
Bachri, Moch. 2006. Geologi Lingkungan. Malang : CV. Aksara.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Pengenalan Gerakan Tanah. Jakarta : Mancamedia.